Rehat  

Sejarah Teater Koma dan Opera Kecoa yang Sangat Mengguncang

Teater Koma, foto: kompas.com

Teater Koma yaitu satu kelompok seni teater yang berdiri pada 1 Maret 1977 di Jakarta. Sebagai grup teater yang udah cukup tua, mempunyai reputasi yang cukup bagus di kancah perteateran Indonesia. Terdaftar udah 111 repertoar (naskah drama) yang dimainkan, baik di layar televisi ataupun di panggung konvensional.

Mereka kerap melakukan debut kreatifnya diantaranya di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, TVRI, Gedung Kesenian Jakarta, serta kota-kota lain diluar Jakarta. Teater Koma adalah perkumpulan kesenian yang bersifat non-profit. Sekarang, grup ini di ikuti sekitar 30 orang anggota aktif, serta 50 orang anggota yang bisa berhimpun dengan menyesuaikan waktu mereka.

Tokoh sentral dalam tubuh Teater Koma yaitu N. Riantiarno. Tidak hanya jadi pimpinan, dia seringkali melakukan tindakan sebagai sutradara serta penulis skenario. Naskah-naskah Nano bahkan juga seringkali dimainkan oleh grup teater lain serta jadi materi festival teater di beberapa daerah.

Sampai 2015, Teater Koma sudah udah menghasilkan 140 pementasan, baik di televisi ataupun di panggung. Debut kreatifitasnya umum di gelar di Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki serta Gedung Kesenian Jakarta.

TEATER KOMA banyak mementaskan karya N. Riantiarno. Diantaranya; Tempat tinggal Kertas, Maaf. Maaf. Maaf., J. J, Trilogi OPERA KECOA (Bom Saat, Opera Kecoa, Opera Julini), Opera Primadona, Sampek Engtay, Semar Tuntut, Opera Ular Putih, Republik Bagong, Republik Togog, Republik Petruk, Sie Jin Kwie, Tempat tinggal Pasir, Sie Jin Kwie Terkena Fitnah, Sie Jin Kwie di Negri Sihir, Demonstran, Republik Cangik, dan sebagainya.

Juga menyelenggarakan karya dramawan kelas dunia ; diantaranya William Shakespeare, Georg Buchner, Bertolt Brecht, Moliere, Aristophanes, Arthur Miller, Beaumarchaise, George Orwell, Alfred Jarre, Freidrich Schiller, Friedrich Durrenmatt, serta Evald Flisar.

N. Riantiarno serta TEATER KOMA tetap meyakini, teater dapat jadi satu diantara jembatan menuju sebuah keseimbangan batin serta jalan untuk terwujudnya kebahagiaan yang manusiawi. Jujur, bercermin melalui teater, dipercaya sebagai satu diantara langkah untuk temukan kembali peran akal sehat serta budi-nurani.

Teater Koma, grup kesenian nirlaba yang berkelanjutan serta produktif. Di kenal miliki banyak pemirsa yang setia. Pentas-pentasnya kerap di gelar melebihi dari 2 minggu, bahkan juga pernah berpentas melebihi dari sebulan.

Sejarah seni drama Teater Koma, penuh liku getir, penuh pahit, penuh duka sedikit sukai diantara luka berbarengan lara, saat kesenian dicurgai kekuasaan Orde Baru (Orba) sebagai ancaman.

Koma diberedel, disetop saat sebelum pentas bahkan juga tengah pentas dilarang dilanjutkan, saat kekuasaan ketakutan pada tolok ukur humanisme (HAM) dalam pesan naskah Opera Kecoa karya serta sutradara N. Riantiarno, orang Cirebon Indonesia, asli pesisir.

Tentang Opera Kecoa, Pementasan Paling Ditunggu Dari Teater Koma

Opera Kecoa Teater Koma, foto: Jakartavenue.com
Opera Kecoa Teater Koma, foto: Jakartavenue.com

Cerita Opera Kecoa bukanlah sebatas kritik sosial, bukanlah. Itu cerita mengenai kenyataan humanisme universal, dapat terjadi di negeri manapun, bila hegemoni kekuasaan melalui batas ambang arti kemanusiaan di keadabannya.

Saat politik ekonomi jadi mastodon bergulir di dalam grup asik dalam pesta demokrasi saat jadi primadona, ada hal terlewati, ada hal tidak tampak.

Nasib beberapa orang kecil tidak lagi mempunyai trotoar, di tepian emperen mal meskipun. Walau suaranya tetap dibutuhkan dalam sebuah arena pemilihan umum yang terbuka jujur serta adil.

Nasib beberapa orang kecil dipeluk kembali oleh badut bercelana jenki berkostum warna-warni simbolik peran pesulap di naskah itu, berceloteh mengenai dirinya sendiri walau dia kecoa sebenarnya.

Nasib beberapa orang kecil, dibutuhkan sebagai alat promo tindakan pemikat nada. Kemudian coba dilupakan sampai pada saat saat dibutuhkan kembali disayang dalam pelukan, seperti nasib tokoh Julini, dia bukanlah banci.

Tokoh Julini lambang mental pada masa-masa Orde Baru, saat setiap saat kekuasaan bisa berubah rupa dalam format ambiguitas, wajahnya ganda pada manis serta raksasa, memainkan fungsi kekuasaannya. Ketika pers dibungkam melalui pesan telephone Pangkopkamtib atau atas nama Departemen Penerangan saat itu.

Juga saat teratur kota menginginkan kebersihan budaya kaki lima mereka beberapa orang kecil di relokasi dengan kata lain digusur tak tahu kemana saat itu di masa Orde Baru. Supaya lokomotif hedonis menggebyarkan iklan di billboard budaya dalam lenggang pola hidup gemerlap neon-sign memikat dengan cinta palsu.

Sampai meletusnya gerakan mahasiswa Malari (Petaka Lima Belas January-15 Januari 1974) gerakan pelajar, mahasiswa serta rakyat menyatu cuma mau kembalikan kemampuan pembangunan untuk rakyat, bukanlah untuk segolongan elit korup. Tetapi gerakan damai Malari dikacaukan oleh penyusupan grup siluman, perancang kambing hitam.

Perubahan politik ekonomi menumbuhkan konglomerasi hitam keabu-abuan, ketimpangan sosial dari maksud di ranah tinjauan pembangunan untuk rakyat dikuasai beberapa politik rentenir ekonomi saat itu. Mahasiswa selalu meningkatkan kesadaran gerakan keadilan untuk rakyat, mulai sejak Malari 1974, gerakan 1977-1978 (Tritura) 200 aktivis mahasiswa ditahan, sampai puncaknya pencapaian gerakan reformasi 1998.

Dinamika humanisme untuk nada rakyat, di dalamnya ada mahasiswa, pelajar serta umum. Tetap dicurigai serta dipantau, walau pencipta chaos sebenarnya datang dari grup siluman pencipta kambing hitam.

N. Riantiarno, menuliskan momen bersejarah di masa Orde Baru itu dalam format humanis, kehidupan beberapa orang kecil disayang, dibutuhkan serta diperlukan, untuk proposal kekuasaan, diceritakan dalam trilogi naskah BOM Saat (1982), Opera Kecoa (1985) serta Opera Julini (1986).

Naskah seni drama, satu manuskrip kesejarahan dalam pemikiran seni serta perubahan kebudayaan berlaku selama jaman, bila memandangnya dengan tolok ukur kejernihan tanpa rasa berprasangka buruk kalau kesenian sebagai ancaman.

seni drama berguna, sebagai beberapa dasar evaluasi kesadaran huminis untuk seluruh bangsa, universal. Salam Indonesia Unit.

Satu diantara pementasan yang paling ditunggu dari Teater Koma yaitu pementasan Opera Kecoa. Opera kecoa jadi satu diantara pementasan yang paling ditunggu banyaknya orang.

Masuk produksi yang ke-146, Opera Kecoa menceritakan kondisi susah golongan pinggir bertahan hidup di ibukota. Naskah karya Nano Riantiarno ini, pertama kalinya dipentaskan pada tahun 1985. Terhambat izin, Opera Kecoa yang gagasannya di produksi lagi pada 1990 dibatalkan. Tidak cuma itu, izin untuk pentas keliling Jepang juga dicabut. Dua tahun selanjutnya, Opera Kecoa ditampilkan oleh Belvoir Theatre di Sydney, Australia dengan judul “Cockroach Opera”. Selang 13 tahun, tepatnya tahun 2003 Opera Kecoa kembali dihidupkan.

Saat ini walau naskah itu udah berusia 30 tahun lebih, cerita pilu yang dihadapi golongan minoritas sampai saat ini belum selesai. Di dunia riil senantiasa ada golongan minor yang hidup memikul kemalangan dibalik bayangan dinding-dinding megah pencakar langit.

Diperankan oleh tiga tokoh paling utama, Roima si bandit kelas teri, Tuminah sang PSK serta Julini waria sebagai kekasih Roima, pemirsa di ajak untuk sesaat merenung bagaimana cerita tragis yang dihadapi golongan yang sampai kini dikira parasit.

Tokoh paling utama serta tokoh pendukung yang lain diperankan oleh Ratna Riantiarno, Budi Ros, Rita Matu Mona, Dorias Pribadi, Alex Fatahillah, Daisy Lantang, Sri Yatun, Ratna Ully, Raheli Dharmawan, Julius Buyung, Ina Kaka, Ledi Yoga, Dodi Gustaman, Sir Ilham Jambak, Bangkit Sanjaya, Rangga Riantiarno, Adri Prasetyo, Tuti Hartati, Bayu Dharmawan Saleh, Didi Hasyim serta Joind Bayuwinanda.

Dibawah arahan sutradara N. Riantiarno serta co-sutradara Ohan Adiputra, Opera Kecoa diiringi komposisi musik almarhum Harry Roesli dengan aransemen garapan Fero Aldiansya Stefanus, tata gerak garapan Ratna Ully dan tuntunan vokal Naomi Lumban Gaol. Pengaturan baju oleh Alex Fatahillah, tata artistik serta tata sinar panggung dikerjakan oleh Taufan S. Chandranegara, di dukung oleh Pimpinan Panggung Sari Madjid, pengarah tehnik Tinton Prianggoro dan Pimpinan Produksi Ratna Riantiarno.