Batalkah Wudhunya Suami Istri yang Bersentuhan?

Seruni.id – Berkaitan dengan batal tidaknya wudhu seseorang, ada satu pertanyaan yang sering timbul di masyarakat tentang batal atau tidaknya wudhu sepasang suami istri yang bersentuhan kulit.

Secara umum ada tiga pendapat berbeda dalam hal ini. Imam Syafi’i dan ulama dari kalangannya berpendapat bersentuhan kulit tanpa aling-aling, baik itu dengan istri sendiri, bisa membatalkan wudhu. Meskipun ia bersentuhan tanpa syahwat. Mengapa demikian? Bahwa seorang perempuan disebut sebagai mahramnya seorang laki-laki adalah apabila perempuan tersebut tidak diperbolehkan dinikahi oleh sang laki-laki. Sebaliknya seorang perempuan disebut bukan mahramnya seorang laki-laki bila ia boleh dinikahi oleh laki-laki tersebut. Sepasang suami istri adalah jelas dua orang berbeda jenis kelamin yang boleh menikah. Karena keduanya diperbolehkan menikah maka sang istri bukanlah mahram bagi sang suami. Karena bukan mahram maka saat kedua bersentuhan kulit batallah wudhu mereka.
Dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan beberapa faktor yang membatalkan wudhu. Di antaranya bertemunya dua kulit antara pria dan wanita meskipun tanpa syahwat. Nahdlatul Ulama (NU) yang memakai mazhab Syafi’i dalam fikihnya berpendapat dalam situs resminya, bersentuhan tangan dan kecupan kepada istri bisa membatalkan wudhu. NU mengutip hadis dari yang diriwayatkan Abdullah bin Umar, “Sentuhan tangan seorang laki-laki terhadap istrinya atau menyentuhnya dengan tangan wajiblah atasnya berwudhu.” (HR Malik dan as-Syafii).

Pendapat kedua adalah persentuhan antara suami istri baik disertai atau tidak dengan syahwat tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dianut Imam Hanifah. Menurutnya, hanya persetubuhan yang membatalkan wudhu. Dalilnya pun sama, surat an-Nisa ayat 43. Namun, laamastum di sini ditafsirkan dengan jima’ atau persetubuhan.

Syekh Salih bin Muhammad bin Utsaimin berpendapat tidak batal wudhunya suami istri yang bersentuhan bahkan berciuman. Dasarnya adalah hadis dari Aisyah RA. Aisyah RA meriwayatkan, Nabi SAW mencium salah satu istrinya kemudian melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud). Hadis ini diperselisihkan di kalangan ulama mengenai derajatnya. Syekh Nashiruddin al-Albani menshahihkannya. Tidak utuhnya para ulama menerima derajat shahih hadis ini juga menjadi penyebab perbedaan pendapat masalah ini.

Pendapat ketiga dari mazhab Malik dan Hambali yang menyatakan batalnya wudhu akibat persentuhan yang mengakibatkan birahi, baik terhadap suami istri ataupun selainnya. Ibnu Qudamah lebih menekankan hukum asalnya tidak membatalkan, namun jika keluar madzi dan mani maka wudhunya batal.

Wallahu’alam Bisshowwab..

-dari berbagai sumber-