Karena Kita Berhak untuk Bahagia

Seruni.id –  Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa di awal-awal masa kuliah saya, mendadak bapak saya di PHK. Yang membuat bertambah miris adalah surat tersebut kami terima saat bapak masih berada di Mekkah, sedang menjalankan ibadah haji yang juga merupakan hadiah dari kantornya. Aneh kan? Diberi hadiah haji, tapi tidak lama setelahnya beliau malah sekaligus di PHK.
Sekembalinya dari ibadah haji,  bapak syok mendengar berita PHK tersebut. Pasalnya bapak juga ternyata harus berhutang sana sini untuk menambah biaya operasional hajinya. Kemudian yang membuat tambah syok, loyalitas bapak di kantornya selama 32 tahun dianggap sebagai karyawan kontrak karena bapak hanya berijazah SD dan dana Jaminan Hari Tua Bapak yang dipotong dari gajinya selama puluhan tahun baru disetorkan ke jamsostek 2 tahun terakhir sebelum bapak di PHK. Subhanallah, ujian bapak begitu bertubi-tubinya semenjak pergi haji.
Namun, hidup harus tetap berjalan. Dengan kondisi yang terpuruk, uang pesangon yang sangat tidak sesuai dengan loyalitas bapak, apalagi setelah dipotong hutang, membuat bapak hanya bisa memulai bisnis kecil-kecilan untuk bertahan hidup. Bapak berbisnis membuat kacang sangrai yang didrop di warung-warung kecil sekitar rumah. Dengan merekrut karyawan yang juga tetangga rumah, kami percayakan urusan pengiriman kacang sangrai tersebut kepada dia.
Dari bisnis kecil tersebut, tentunya untung yang diperoleh hanya bisa untuk makan sehari-hari. Bulan demi bulan usaha bapak berjalan lancar sampai akhirnya setoran kacang dari warung ke warung mendadak tersendat. Kami pun heran dan akhirnya melakukan pengecekan ke warung-warung tersebut. Setelah kami konfirmasi ke warung-warung, ternyata ditemukan fakta bahwa karyawan bapak sudah mengambil lebih dulu uang setoran kacang tersebut tanpa menyetornya kepada Bapak. Subhanallah, berat sekali ujian kami saat itu. Bapak sudah sangat marah dan kecewa dengan perlakuan kantor bapak , ditambah perbuatan karyawan kepercayaannya yang menambah kepedihannya. Karyawan itu kabur dan kami mengejarnya, namun setelah tertangkap, karyawan itu mengatakan bahwa uang setorannya sudah habis dipakainya. Ya Allah, speechless rasanya mendengar hal itu.
 
Selanjutnya bisa dibayangkan, kuliahku yang baru saja memasuki semester 2 terancam putus. Bapak menyampaikan ketidaksanggupannya untuk membiayai kuliahku lagi.  Ya Allah, akhirnya berita pahit ini kuterima juga. Namun, aku tidak mau berhenti kuliah. Akupun berusaha untuk mencari pekerjaan agar kuliahku bisa berlanjut demi masa depanku dan keluarga. Akhirnya aku diterima bekerja sebagai pelayan restoran part time setelah pulang kuliah.
Walaupun dengan kondisi yang sangat terpuruk, jatuh bangun karena harus mengejar waktu antara kuliah & bekerja, membuang rasa malu untuk mengajukan keringanan biaya kuliah ke kampus, mengajukan beasiswa ke beberapa perusahaan, belum lagi cemoohan dari tetangga yang menyangsikan aku bisa menyelesaikan kuliahku, akhirnya aku pun bisa lulus dari kampus dan alhamdulillah menjadi 10 wisudawan terbaik di jurusanku. Bapak dan ibu menjadi orang tua yang menyaksikan saat tali togaku dipindahkan sebagai tanda aku telah diwisuda dan telah sah menjadi sarjana.
Sejak melewati fase kehidupan yang cukup berat itu, dimana ibuku hampir gila dibuatnya, dan adik-adikku yang masih belia harus juga turut mengalami kepahitan hidup ini, kami sangat bersyukur karena saat ini akhirnya kami bisa melewati masa kelam tersebut karena kami yakin bahwa doa orang-orang yang terdzalimi langsung menembus langit dan dikabulkan oleh Allah.
Kami berusaha melupakan dan sudah memaafkan orang-orang dan pihak-pihak yang telah menipu dan menyakiti hati bapak. Kami percaya bahwa tidak ada gunanya lagi menyimpan dendam kepada mereka karena Allah paling tahu rencana apa yang terbaik bagi kami. Seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an bahwa “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal hal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal hal itu buruk bagimu”. Allahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi kita & mengapa Allah memberikan ujian yang begitu berat bagi kita.
Aku pun menyadari, bagi diriku pribadi, masa-masa pahit dan sulit itu justru menjadikanku pribadi yang lebih kuat, tegar, tangguh, semangat dan yakin akan semua ketetapan Allah.
Aku juga semakin yakin bahwa Allah selalu menitipkan suka cita di tengah duka lara, memberikan kemudahan di tengah kesusahan, menebarkan kebahagiaan di tengah kesedihan, dan Allah menjanjikan bahwa semua akan indah pada waktunya. Hanya Allahlah sebaik-baik penolong dan hanya Allahlah satu-satunya tempat kita bergantung.
Dengan memaafkan orang-orang yang telah membuat kita hancur & terpuruk, sesungguhnya menjadikan kehidupan kita lebih bersih, tenang, damai, dan bahagia. Bagaikan sampah yang tadinya kita  selalu bawa di punggung kita & aromanya menyebar kemana-mana, kini sudah saatnya kita membuang sampah tersebut dan kita bersihkan tubuh kita sehingga aroma sampah itu hilang dan tubuh kita pun menjadi ringan.
Mari kita belajar untuk memaafkan, bukan karena kita kalah, namun karena kita berhak untuk bahagia.
Anggraini