Perempuan Haid atau Nifas Diperbolehkan I’tikaf di 10 Hari Terakhir Ramadan?

Seruni.id – Apakah perempuan haid atau nifas diperbolehkan untuk i’tikaf? Sebagai perempuan juga, pernah merasakan ketidaknyamanan, sedih dan marah saat yang lain melaksanakan begitu banyak ibadah di bulan suci ini, terutama di 10 hari terakhir. Oleh karena itu, kita simak uraian-uraian berikut, inshaa Allah bisa melepaskan semua rasa yang tidak enak.

Perlu dipahami, haid bagi perempuan merupakan salah satu bentuk nikmat dari Allah. Keberadaan darah haid pada perempuan menunjukkan bahwa wanita tersebut memiliki kemampuan untuk memiliki keturunan.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum i’tikaf bagi perempuan haid, nifas, atau orang junub.

  • Pertama, haram dan tidak sah
    Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama (Fiqhul I’tikaf, Hal. 26). Hanya saja, ulama hanafiyah menjadikan syarat suci dari haid atau nifas, untuk i’tikaf Ramadhan saja, karena mereka berpendapat bahwa i’tikaf harus disertai puasa.
  • Kedua, perempuan haid boleh i’tikaf dan hukumnya sah. Ini adalah pendapat Madzhab Zahiriyah (al-Muhalla, 2:250). Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Musthofa al-Adawi dalam Jami’ Ahkam an-Nisa’ (5:232).

Jika dikaji lagi, perbedaan pendapat dalam masalah ini merupakan perbedaan pendapat mereka tentang dua hal, yaitu: Apakah dalam i’tikaf disyaratkan harus disertai puasa? Bolehkah perempuan haid, nifas, atau orang junub duduk di masjid?

Bagi ulama yang berpendapat bahwa i’tikaf harus dilakukan ketika puasa, mereka menegaskan bahwa perempuan haid atau nifas dilarang melakukan i’tikaf, sebagaimana pendapat hanafiyah (Hasyiyah Ibn Abidin, 2:442). Demikian pula ulama yang mengharamkan perempuan haid atau nifas atau sedang junub masuk masjid, mereka menegaskan terlarangnya melakukan i’tikaf.

Imam hambali membolehkan orang junub duduk di masjid, akan tetapi melarang orang junub melakukan i’tikaf. Karena i’tikaf tidak hanya cukup duduk sebentar. Mereka berdiam di masjid untuk rentang waktu tertentu, semalam atau sehari.

Lebih dari itu, terdapat sebuah riwayat dari A’isyah, beliau mengatakan : “Dulu para perempuan melakukan i’tikaf. Apabila mereka haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk keluar dari masjid.”
(riwayat ini disebutkan Ibn Qudamah dalam al-Mughni 3:206 dan beliau menyatakan: Diriwayatkan oleh Abu Hafs al-Akbari. Ibnu Muflih dalam al-Furu’ 3:176 juga menyebutkan riwayat ini dan beliau nisbahkan sebagai riwayat Ibnu Batthah. Kata Ibnu Muflih: “Sanadnya baik”).

Sehingga kesimpulannya, pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahwa i’tikaf bagi perempuan haid atau nifas atau junub statusnya terlarang, sampai mereka suci dan bersuci.

Meskipun demikian, bagi kita, kaum perempuan yang sedang mengalami haid atau nifas di 10 malam terakhir bulan ramadhan, tidak boleh berkecil hati apalagi muncul perasaan marah terhadap ketetapan Allah. Karena setiap mukmin bisa mendapatkan keutamaan Lailatul Qadar, meskipun dalam kondisi hadats. Perempuan haid atau nifas bisa melakukan amal apapun selama bukan ibadah yang dilarang.

Baca juga: Waspada, Ini Daerah-daerah Rawan Longsor di Jalur Mudik Lebaran

Salah satu persoalan bagi seorang perempuan adalah haid pada bulan Ramadhan, terutama saat 10 hari terakhir, sehingga bingung mau melakukan apa. Apa yang bisa dilakukan oleh perempuan haid atau nifas agar tetap bisa mendapatkan Lailatul Qadar?

Kesedihan karena tidak bisa beri’tikaf, berpuasa, shalat, tarawih dan membaca Alquran karena haid adalah hal baik, karena diantara ciri orang beriman adalah gembira ketika melakukan amal shalih dan susah ketika melakukan kemaksiatan. At-Tirmidzi meriwayatkan: “Dari Ibnu Umar, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; Barangsiapa kebaikannya yang ia lakukan membuatnya bahagia, dan keburukannya membuatnya susah, maka dia adalah seorang mukmin.” (H.R. At-Tirmidzi)

Namun hal ini tidak bermakna bolehnya seorang perempuan menyesali kodratnya sebagai perempuan, kemudian tidak ridha dengan ketentuanNya dan mengangan-angankan sesuatu yang dilarang oleh Allah dan RasulNya, seperti berandai-andai dia adalah seorang laki-laki.

Perlu diketahui juga oleh perempuan, bahwa ketika dia tidak berpuasa Ramadhan karena haid maka hal itu bermakna dia sedang menjalankan perintah Allah, karena Allah melarang perempuan haid berpuasa, beri’tikaf, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya.

Menjalankan perintah Allah adalah amal shalih, sehingga hal ini bermakna perempuan haid yang tidak berpuasa sesungguhnya sedang beramal shalih sebagaimana yang berpuasa tanpa ada perbedaan. Justru perempuan haid yang tidak berpuasa sedang menjalankan perintah Allah dengan cara yang lebih ringan daripada yang berpuasa yang harus menahan lapar dan dahaga.

Dalil yang menunjukkan bahwa perempuan yang sedang haid tidak boleh berpuasa diantaranya berdasarkan hadistt berikut ini; Dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari raya ‘Iedul Adlha atau Fitri keluar menuju tempat shalat, beliau melewati para perempuan seraya bersabda: “Wahai para perempuan! Hendaklah kalian bersedekahlah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka.” Kami bertanya, “Apa sebabnya wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak kufur terhadap suami. Dan aku tidak pernah melihat makhluk yang kurang akal dan agamanya yang bisa mengalahkan lelaki yang kuat tekadnya selain kalian.” Kami bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?” Beliau menjawab: “Bukankah persaksian seorang perempuan setengah dari persaksian laki-laki?” Kami jawab, “Benar.” Beliau berkata lagi: “Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang perempuan bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?” Kami jawab, “Benar.” Beliau berkata: “Itulah kekurangan agamanya.” (H.R.Bukhari)

Lafadz “bukankah seorang perempuan bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa” Menunjukkan bahwa di zaman Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sudah diketahui bahwa perempuan yang haid tidak berpuasa dan tidak shalat. Oleh karena shalat lima waktu dan puasa Ramadhan hukumnya wajib, sementara perempuan di zaman Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam malah tidak melakukannya, maka hal ini bermakna bahwa puasa dan shalat memang dilarang bagi perempuan yang sedang haid. Artinya, jika dilakukan maka puasa dan shalat tersebut tidak sah dan malah melanggar perintah Allah.

Oleh karena itu, sikap ridha kita sebagai perempuan adalah sikap pertama yang harus dibentuk. Sikap ridha adalah bagian dari amal shalih, bahkan termasuk diantara amal shalih yang paling agung.

Terkait dengan amalan-amalan praktis bagi perempuan yang sedang haid di bulan Ramadhan, maka hadist riwayat ‘Aisyah yang menangis karena haid sebelum Manasik Haji mengisyaratkan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam merekomendasikan semua amal shalih yang bisa dilakukan perempuan selama bukan amal-amal yang memang dilarang Syara’. Pintu-pintu amal shalih sesungguhnya sangat banyak, namun berikut ini akan disajikan sejumlah amal shalih penting yang bisa dilakukan perempuan haid/nifas di bulan Ramadhan.

1. Melayani/membantu orang lain, terutama orang yang berpuasa

Sesungguhnya pelayanan, seremeh apapun adalah amal shalih. Dalil yang menunjukkan pelayanan adalah amal shalih adalah hadist berikut ini;

Lebih utama lagi jika yang dilayani adalah orang yang berpuasa, karena melayani orang yang berpuasa dan meringankan pekerjaan/kesusahan mereka bisa membuat yang melayani mendapatkan ganjaran sebagaimana orang yang berpuasa.

Dari sini, bukankah hal yang mudah bagi perempuan melakukan Khidmat dengan cara menyiapkan makan sahur dan berbuka, berbelanja untuk kebutuhan makan, mengasuh anak, membersihkan rumah, mencuci, menyetrika dan sebagainya? Semua hal tersebut jika dilakukan karena Allah tidak akan sia-sia.

2. Mendorong orang lain beramal shalih

Mendorong orang lain melakukan amal shalih termasuk amal shalih dan membuat pelakunya mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal shalih tersebut.

3. Menjamu orang berbuka

Orang yang menjamu orang lain untuk berbuka, akan mendapatkan ganjaran sebagaimana yang didapatkan orang yang berpuasa tersebut tanpa dikurangi pahalanya sedikitpun.

4. Memperbanyak istighfar dan shodaqoh

Secara khusus Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam merekomendasikan perempuan agar memperbanyak istighfar dan shodaqoh karena beliau diperlihatkan bahwa perempuan adalah penghuni neraka yang paling banyak. Istighfar dan Shodaqoh lebih layak diperhatikan dibulan Ramadhan karena bulan ini adalah bulan yang paling mulia diantara seluruh bulan.

5. Memperbanyak Dzikir

Perempuan dianjurkan memperbanyak dzikir baik dengan lisan maupun dengan hatinya. Diantara lafadz dzikir yang bisa diistiqomahkan adalah lafadz yang diajarkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadist berikut ini;

Dari Abu Hurairah menuturkan; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Ada dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dan disukai Arrahman, Subhanallah wabihamdihi dan Subhaanallahul ‘azhiim.” (H.R. Bukhari)

6. Memperbanyak doa

Doa adalah ibadah dan ibadah termasuk amal shalih. Seorang perempuan bisa memperbanyak doa di bulan ramadhan, baik doa Ma’tsur (diriwayatkan) maupun doa Mashnu’ (dibuat sendiri), dengan bahasa Arab maupun bahasa kaum. Diantara Nash yang menunjukkan keutamaan Doa adalah hadist berikut ini;

Dari An-Nu’man bin Basyir dari nabi SAW beliau bersabda; Doa adalah ibadah (H.R. Abu Dawud)
Terutama sekali berdoa pada sepertiga malam terakhir dan waktu antara Adzan dengan Iqomah, karena waktu tersebut adalah waktu mustajab.

Contoh doa yang bisa selalu diamalkan setiap mendengar adzan adalah sebagaimana yang diajarkan dalam hadist berikut ini;

Dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berdo’a setelah mendengar adzan: ALLAHUMMA RABBA HAADZIHID DA’WATIT TAMMAH WASHSHALAATIL QAA’IMAH. AATI MUHAMMADANIL WASIILATA WALFADLIILAH WAB’ATSHU MAQAAMAM MAHMUUDANIL LADZII WA’ADTAH (Ya Allah. Rabb Pemilik seruan yang sempurna ini, dan Pemilik shalat yang akan didirikan ini, berikanlah wasilah (perantara) dan keutamaan kepada Muhammad. Bangkitkanlah ia pada kedudukan yang terpuji sebagaimana Engkau telah jannjikan) ‘. Maka ia berhak mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat.” (H.R. Bukhari)

Para Fuqoha sepakat pada tiga poin ibadah sebelumnya yaitu, istighfar, dzikir dan Doa tidak disyaratkan yang melakukan harus suci dari hadas baik hadas besar maupun hadas kecil. Artinya seorang perempuan yang sedang haid, meskipun dia berhadas besar tidak ada larangan baginya untuk beristighfar, dzikir dan berdoa sepanjang waktu selama mampu.

7. Tholabul ‘Ilmi (mencari ilmu)

Mencari ilmu termasuk amal shalih yang bisa dilakukan perempuan haid di bulan Ramadhan baik dilakukan dengan mendatangi majelis ilmu maupun mempelajari isi buku. Di bulan Ramadhan biasanya bertaburan banyak majelis ilmu. Namun, dalam memilih ilmu mana yang dikaji, pilihlah yang paling bermanfaat bagi dien, dan mulailah mempelajari ilmu-ilmu islam yang fardhu ‘Ain terlebih dahulu.

Selain amalan-amalan ini, perempuan juga bisa melakukan amal shalih lain selain ibadah mahdhoh yang dinyatakan dan dipuji oleh Nash seperti Shobr, Hilm, Ziarah, Shilaturrahim, menjenguk orang sakit, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Siwak, Qoilulah, dan sebagainya. Bagi istri, perhebatlah bakti kepada suami di bulan Ramadhan, karena suami adalah surga dan nerakanya istri.

Untuk amalan pada saat 10 terakhir bulan Ramadhan dan lailatul Qodar, perempuan yang sedang haid bisa melakukan amalan-amalan ibadah Mahdhoh yang tidak mensyaratkan kesucian dalam melakukannya seperti Istighfar, Dzikir, dan doa. Perbanyak pula doa yang diamalkan ‘Aisyah ketika bertanya bacaan yang diucapkan jika tahu kapan lailatul Qodar.

Ibnu majah meriwayatkan; Dari ”Aisyah bahwa dia berkata; “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku ketepatan mendapatkan malam lailatul Qodar, apa yang harus aku ucapkan?”, beliau menjawab: “Ucapkanlah; ya Allah, sesungguhnya Engkau maha pema’af mencintai kema’afan, maka ma’afkanlah daku.” (H.R. Ibnu Majah).

Untuk perempuan, tidak terlihatkah betapa besar karunia Allah yang diberikan kepada perempuan dari beberapa hal yang diungkapkan sebelumnya? Kita tidak ikut lapar dan dahaga, tetapi peluangnya mendapatkan ganjaran sama persis seperti orang yang berpuasa dan yang beramal shalih yang lain.

Wallahu a’lam. Semoga bisa bermanfaat dan tidak berkecil hati lagi ya.