Resensi Film Ayat-ayat Cinta 2

Resensi film AAC2

AAC2 merupakan karya seni budaya (seni sastra dan seni perfilman) yang bersifat ideologis. Karya seni budaya yang bersifat ideologis ditandai dengan tokoh yang ‘jadi’, yang kemudian dioperasikan dalam sebuah lakon cerita untuk memecahkan beragam isu sosial. Karya seni budaya yang bersifat ideologis jelas berbeda dengan karya seni budaya yang sifatnya reflektif yang temanya menggambarkan perjalanan kepribadian atau perilaku sang tokoh dalam lingkup konflik konflik batin-nya, yang berisi perubahan dari sesosok diri ‘yang buruk’ menjadi sesosok diri ‘yang baik’. ‘Fahri’ sebagai figur utama dalam AAC2 digambarkan sebagai sesosok yang sudah mumpuni. Dia digambarkan sebagai sosok pribadi yang memiliki aqidah yang lurus, peribadatan yang baik, akhlaq yang kokoh, yang memiliki intelektualitas yang tinggi, kaya dan kepedulian yang tinggi terhadap masalah kemanusiaan.

Fahri secara implisit digambarkan sebagai sosok muslim yang telah mengamalkan ayat 60 dan ayat 61 dari surat Al-Anfal:

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan berbagai kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggetarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu ingatkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan didholimi”.

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Wa a’idu mastatho’tum min quwwatin.. Kekuatan utama dan pertama yang perlu dipersiapkan oleh setiap muslim adalah kekuatan aqidah.. Bahwa alam semesta berikut bumi dan langit-langitnya diciptakan oleh Allah SWT. Sebuah kesadaran yang muncul, sesuai dengan arahan Allah SWT adalah ‘innal ardha wasi’ah fatuhajiru fiiha’ Sesungguhnya bumi Allah itu luas dan hendaklah kamu lakukan berhijrah dibumi-Nya. Sebagai orang muslim yang lahir di Indonesia tak mesti selamanya harus terbatas tinggal di Indonesia, tetapi peluang hijrah itu bisa ke mana saja. Bisa ke Amerika, ke Australia, ke Eropa atau ke mana pun.

Kekuatan kedua adalah kekuatan beribadah kepada Allah SWT. Di manapun berada, ibadah kepada Allah dalam bentuk pelaksanaan sholat dan dzikir harus ditegakkan. Cari masjid masjid yang ada di lokasi setempat untuk melakukan sholat. Dan, bilamana sholat di mesjid tak memungkinkan, sholat dimana pun bisa dilakukan, termasuk di ruang ruang perkuliahan. Dan untuk itu, tak perlu ada rasa sungkan sungkan. Kekuatan ibadah ini memberikan dampak pada terwujudnya ketentraman batin bagi seorang muslim.

Kekuatan ketiga yang harus dimiliki adalah kekuatan akhlaq. Setiap muslim perlu mengembangkan akhlaqul karimah sebagai modal berinteraksi dengan siapa pun.

Kekuatan ke empat yang harus dimiliki adalah kekuatan ilmu. Meski tak menjadi keharusan, kekuatan ilmu yang dimiliki perlu menyesuaikan dengan standar umum yang diterima oleh masyarakat.

Wa min ribathil khoili.. merupakan sebuah simbul kekuatan yang bisa dilihat melalui pandangan mata.. di masa dulu, kekuatan yang bisa dilihat mata adalah ‘pasukan berkuda’. Pada zaman sekarang kekuatan yang terlihat sebentuk ‘pasukan berkuda’ bisa diujudkan dalam bentukan yang lain. Misalnya, armada bisnis atau rumah rumah mewah, yang semuanya ditujukan untuk perjuangan di jalan Allah.

Semua persiapan dalam bentuk ragam kekuatan ini ada pada sosok Fahri. Satu hal yang perlu ditanyakan kepada penulisnya Kang Habiburrahman El Shirazy-Kang Abik adalah mungkinkah Fahri digambarkan sebagai sosok yang memiliki kemampuan seni yang mumpuni? Selama ini tokoh tokoh yang ditampilkan dalam novel novel sosok orang yang punya pengetahuan yang luas, sehingga bisa memenangkan beragam debat intelektual. Bila pada novelnya ditampilkan sesosok Fahri yang punya kemampuan seni yang mumpuni, tentu novelnya yang sudah sangat menarik akan menjadi tambah menarik lagi.

Melalui bacaan atas surat Al-Anfal ayat 60 dan ayat 61, masyarakat non muslim itu bisa dikategorikan menjadi dua kelompok. Kelompok non muslim yang memusuhi dan menyerang umat Islam, dan kelompok non muslim yang punya kecenderungan lakukan perdamaian

Dalam film tergambarkan keberadaan dua bentuk masyarakat non Islam tersebut secara jelas. Non muslim yang memusuhi dan melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin yang terjadi di Kota Gaza. Masyarakat non muslim yang cenderung kepada perdamaian yaitu masyarakat Barat tempat “Fahri” berada. Atas keduanya harus dilakukan penyikapan dengan cara yang berbeda.

Bisa saja non muslim yang cenderung kepada perdamaian itu masih melekat sikap sikap Islamo-phobia. Atas sikap Islamo-phobia itu, penyelesaian-nya bisa ditempuh melalui keluhuran akhlaq Islami dan pengembangan aktivitas aktivitas kebajikan.

Dalam lingkungan masyarakat yang heterogen, upaya penghilangan Islamo-phobia bisa ditempuh melalui penerapan ajaran Islam terkait dengan hak hak bertetangga. Siapapun orangnya, dari mana pun datangnya, dan apa pun latar belakang keagamaan memiliki hak bertetangga. Bila mereka mengalami kesulitan, setiap muslimin perlu melakukan pertolongan.

Bila ada tetangga yang mabuk, tetangga tersebut perlu diberikan pertolongan saat mabuknya. Bila tetangganya mengalami kesulitan ekonomi, setiap muslim perlu memberikan bantuan agar kesulitan ekonominya bisa dihilangkan atau setidaknya bisa dikurangi bebannya.

Beruntungnya, Fahri memiliki persiapan yang cukup sempurna. Dengan kekayaan bisnis yang dikelolanya, dia bisa menebus rumah tetangga yang mau dijual sehingga rumah tersebut masih bisa kembali kepada pemiliknya. Dengan kekayaan yang dimiliki, dia bisa menyediakan guru musik untuk mengajarkan musik bagi tetangganya dan bisa membebaskan anak yang terpaksa mencuri karena ingin memenuhi kebutuhannya.

Tantangan berkehidupan dalam masyarakat yang heterogen bagi kaum muslimin adalah bagaimana bisa ber-Islam dengan baik, tapi tidak menimbulkan permasalahan bagi lingkungan sekitarnya. Resepnya cukup mudah, yaitu ber-Islam lah dengan ajaran Islam yang sebenarnya, sehingga Islam tidak mesti harus dibenturkan dengan isu ke-bhinekaan.

AAC2 sangat menarik karena dibumbui dengan kisah cinta kasih yang suci, meski perlu ditempuh melalui alur cerita yang mengharukan. Figur figur yang dikisahkan menyangkut sosok “Fahri”, “Aisha-Sabina” dan Hulya. Bumbu kisah cinta kasih ini bahkan menjadi tema sentral dalam film AAC2 ini. Hanya saja, resensi film yang dibuat ini hanya memfokuskan pada aspek sosiologis-nya. Oleh karenanya, untuk aspek aspek psikologis-nya bisa dilakukan resensi film tersendiri.

Selanjutnya bisa diambil kesimpulan bahwa film AAC2 ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin di Indonesia. AAC2 ini sangat bermanfaat dalam pengembangan visi keumatan. Tak terasakan melalui untaian kisahnya bahwa nilai nilai ke-Islaman dibawa dan diletakkan dalam tataran global. Isu Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika tidak bertentangan sama sekali dengan ke-Islaman seseorang. Bahkan semakin orang ber-Islam semakin dia memiliki misi rahmatan Lil alamin yang tinggi. Kisah AAC2 bisa digunakan untuk mengatasi dan menghilangkan rasa minder umat, bahwa sesosok individu muslim itu bisa memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, bisa menjadi pengusaha sukses di mancanegara dan bisa berkiprah dalam bidang kemanusiaan pada tataran yang lebih luas.

Dari sisi artistik, film AAC2 cukup menarik. Kalau selama ini film film yang menggambarkan kondisi umat dan ke-Islaman selalu berwajah kusam, maka film AAC2 menampilkan gambaran warna kehidupan yang cerah. Terpampang dalam layar perfilman kondisi Universitas Edinburgh dan Universitas Oxford yang sangat megah, Kota Glasgow yang indah dengan jejeran pemandangan alam dan bangunan gedungnya, serta rumah milik “Fahri” yang berperabot lengkap dan bagus. Suasana itu membawakan simbul ke-Islaman yang optimistik dan cerah.

 

Oleh: Didik Akhmadi