Petani Puisi

Suara Nasional670 × 335Search by image
Suara Nasional670 × 335Search by image

/1/

Pagi-pagi sekali, kau berangkat ke sawah, sambil

membaca puisi, “siapa bilang tanah kita tanah surga?”

Sore-sore kembali, kau pulang ke rumah, sambil

membaca puisi, “…kayu dan batu bisa disulap jadi tanaman?”

Diam-diam kau suka bangga sendiri dan berkata dalam hati:

Ah, aku sudah menjawab tanya dalam puisiku sendiri….

/2/

Kau paling suka berjalan di pematang. Sebab kau merasa

seperti nyasar sendirian di awan, bung-bunga semangka tanpa biji

di matamu seperti bintang kecil di langit yang biru.

“Oh, indah sekali, siapa yang dulu mengajariku jadi petani….”

Kadang kau merasa seperti sedang melangkah ke gerbang

menuju istana: bunga-bunga ketimun seperti sayap-sayap

kupu-kupu kuning, mengiringmu menjemput permaisuri.

Sebuah kalimat seperti puisi sudah kau persiapkan rapi sekali:

Belahan jiwaku, izinkan aku bertahta di hatimu. “Ah, basa basi…”

katamu dalam hati.

Kau paling suka berjalan di pematang. Sambil menggoda diri

sendiri, melihat tomat-tomat yang segarnya …ah, seperti

kecurigaan yang makin lama makin kau curigai sendiri:

“Saya kira, Tuhan sedang senang hati ketika menciptakan

buah yang kalau tua merah dan kalau muda hijau ini….”

/3/

Malam hari dia suka mengaso sendiri,

sambil mengenang rasa kopi, mengisi buku diari,

kau menulis harapan: ….ah, seandainya, manusia

semua cukup makan, petani hidup berkecukupan,

anak-anaknya bisa sekolah dan kuliah pertanian,

harga sayuran tidak dipermainkan, pedagang culas

tidak main gula seludupan….

kau juga menulis tentang kenangan:…bertani adalah

memanen matahari – ini definisi atau puisi? kau

bertanya-tanya sendiri – dan semakin lama semakin

arif memahami, benih-benih cinta itu sudah lama

kau semaikan di hati, kini kau membiarkan daunnya

berguguran….ikhlas mendaur ulang diri sendiri.

lalu tersenyum dalam ngelindur tidur:

Tuhan sudah menjawab doaku selama ini….